Thursday, 19 October 2017

KRITIKAN ANAK KECIL VERSUS KRITIKAN ORANG DEWASA

     Akhir-akhir ini saya menjaga dan sedikit mengasuh anak kecil yang tak lain adalah keponakanku sendiri, anak dari mbakku yang pertama. Ada empat anak kecil, satu perempuan, tiga laki-laki, tetapi satu laki-lakinya masih bayek. Anaknya masih belum sekolah SD semua. Hal yang paling menarik selain imut, gemes, lucu adalah komunikasi mereka yang memusingkan. Misalnya saja ketika mereka menginginkan mainan yang mereka sendiri yang tahu, menggunakan bahasa mereka, tentunya sambil memeragakan apa yang dimaksud, seperti si anak ketiga yang laki mengatakan "Bobobo !!!" untuk sebutan "buatkan susu untukku !!!". Saya kira mau lihat film "Boboho", ternyata salah.
     Uniknya lagi, ketika saya membuat susu untuk si perempuan yang paling tua dari semuanya, dia protes karena buatan susu saya kurang manis. "Iya sih, saya baru pertama kali bikinin susu untuk anak kecil, sebelumnya tidak pernah" pikirku. Mereka semua anak kecil dan belum mengerti banyak hal, sehingga saya harus belajar bahasanya mereka(susahnya memberikan kepahaman kepada anak kecil daripada orang dewasa).
     Entah kenapa, saya terngiang kepada kritikus di Indonesia, kritikus disini adalah orang yang suka mencecar karya anak bangsa, dan memandang remeh. Saya pikir, boleh sih anak kecil protes walaupun mereka tidak bisa bikin susu yang diprotes seperti saya tadi. Tapi, kalau berhadapan dengan orang dewasa, dia protes dengan karya orang lain, tentunya nggak asal protes dong, setidaknya harus bisa menyaingi yang lebih keren. Seperti misalnya anda membaca tulisan saya, terus anda mencecar tulisan saya ini, tapi anda tidak bisa mengarang tulisan. Anda bukan anak kecil lagi yang bisa rewel seenaknya. 
    Kritik, cecar, atau apalah namanya, boleh saja, tapi yang profesional. Kritik karya harus dibarengin dengan karya pula, kritik tulisan balas pula dengan karya tulisan. Selain memberikan manfaat, akan memberikan rasa puas bagi orang yang dikritik. Seperti aliran filsafat, aliran psikologi, aliran ilmu lainnya, adalah bukti dari kritikan-kritikan yang dibarengin dengan karya pula. Ini adalah bermain Fair.
   Kritik kenapa harus fair ? karena kita akan terlihat mana yang hanya omdo dan mana yang mengkritik menggunakan otaknya. Tentunya orang yang berkarya telah menguras pikiran, tenaga, dan waktunya untuk menjadi lebih baik, kenapa harus dikritik kalau tidak ada perkembangan karya pula, kenapa harus dicecar ? bukankah setiap karya itu berkembang ?
Malang, 19 Oktober 2017
 

No comments:

Post a Comment